ARTIKEL
PENDEKATAN KONSESUS
NAMA
: Agnes asetiawan
KELAS
: 1IA14
FAKULTAS
: TEKNIK IDUSTRI
JURUSAN
: TEKNIK INFORMATIKA
KATA
PENGANTAR
Latar
Belakang
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada allah swt, karena atas
berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami boleh menyelesaikan sebuah artikel ini
dengan tepat waktu. Berikut ini adalah artikel dengan judul “ Pendekatan
konsesus / Struktur konsional “.yang menurut kami dapat memberikan manfaat besar
bagi kita untuk di pelajari. Melalui kata pengantar ini tugas ini lebih dahulu
meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan
dan ada penulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan
pembaca. Dengan ini kami mempersembahkan artikel ini dengan penuh rasa terima
kasih dan semoga allah swt memberkahi artikel ini sehingga dapat memberikan
manfaat. Aaaaminn.
Konsensus dan konflik adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan.
Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb)
yang dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa
konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah
kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau
individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara bersama
untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak, sehingga tidak
mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan tetapi dalam prakteknya
konsensus dapat memengaruhi politik.
Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa
eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus
moral adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah
salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam
konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber
solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas mekanik
dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa setiap orang
“mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang merepresentasi kita”
(Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan Durkheim adalah bukan hanya
menyamakan fisik, melainkan juga kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama,
hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika
masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan
sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Jadi, konflik adalah
suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang menciptakan, menimbulkan atau
membentuk sebuah kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dimana
pembentukan ini bertujuan untuk mendorong terpenuhinya kepentingan kelompok
tersebut.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari
bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan dalam kedua pihak atau
lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain bahwa konflik adalah gejala
umum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya
perbedaan dari dua pihak atau lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara
verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka,
gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran
dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.
Konsensus dan
konflik merupakan dua gejala yang tidak bisa dipisahkan dan saling melekat.
Kedua gejala ini harus diintegrasikan untuk menganalisis masyarakat indonesia
yang majemuk. Struktur masyarakat indonesia ditandai dua ciri. Secara
horisontal, adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan ras, agama, suku,
adat. Secara vertikal, adanya perbedaan yang sangat tajam antara lapisan atas
dan lapisan bawah.
Dalam perspektif antropologi, konflik merupakan gejala yang
umum terjadi di Indonesia, yang terkenal dengan negara multikultural. Perbedaan
etnis, suku bangsa, adat, agama, ras, dan pelapisan sosial yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat Indonesia mewarnai konflik-konflik yang timbul. Dibutuhkan
sebuah pendekatan salah satunya adalah pendekatan antropologis untuk
menjelaskan tentang konsensus konflik ini, karena antropologi sendiri terfokus
pada aspek manusia selaku sumber dari konflik. Dengan pendekatan ini,
diidentifikasi akar-akar dari konflik sehingga dapat ditemukan cara terbaik
dalam penyelesaian konflik tersebut tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.
Konsensus dan konflik
adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua
konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup
lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia
sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat
mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan.
Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan
kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang
dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa
konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah
kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau
individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara
bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak,
sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan
tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik.
Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat
tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah
kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah
satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam
konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber
solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas
mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa
setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang
merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan
Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga
kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal
ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan
atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang
menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai
kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong
terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan
dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain
bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau
lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga
diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak
badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran
dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.
Konsensus dan konflik merupakan dua gejala yang tidak bisa dipisahkan
dan saling melekat. Kedua gejala ini harus diintegrasikan untuk
menganalisis masyarakat indonesia yang majemuk. Struktur masyarakat
indonesia ditandai dua ciri. Secara horisontal, adanya kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan ras, agama, suku, adat. Secara vertikal, adanya
perbedaan yang sangat tajam antara lapisan atas dan lapisan bawah.
Dalam perspektif antropologi, konflik merupakan gejala yang umum terjadi
di Indonesia, yang terkenal dengan negara multikultural. Perbedaan
etnis, suku bangsa, adat, agama, ras, dan pelapisan sosial yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewarnai konflik-konflik yang
timbul. Dibutuhkan sebuah pendekatan salah satunya adalah pendekatan
antropologis untuk menjelaskan tentang konsensus konflik ini, karena
antropologi sendiri terfokus pada aspek manusia selaku sumber dari
konflik. Dengan pendekatan ini, diidentifikasi akar-akar dari konflik
sehingga dapat ditemukan cara terbaik dalam penyelesaian konflik
tersebut tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Konsensus dan konflik
adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua
konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup
lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia
sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat
mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan.
Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan
kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang
dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa
konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah
kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau
individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara
bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak,
sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan
tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik.
Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat
tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah
kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah
satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam
konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber
solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas
mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa
setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang
merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan
Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga
kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal
ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan
atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang
menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai
kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong
terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan
dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain
bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau
lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga
diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak
badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran
dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.
Konsensus dan konflik merupakan dua gejala yang tidak bisa dipisahkan
dan saling melekat. Kedua gejala ini harus diintegrasikan untuk
menganalisis masyarakat indonesia yang majemuk. Struktur masyarakat
indonesia ditandai dua ciri. Secara horisontal, adanya kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan ras, agama, suku, adat. Secara vertikal, adanya
perbedaan yang sangat tajam antara lapisan atas dan lapisan bawah.
Dalam perspektif antropologi, konflik merupakan gejala yang umum terjadi
di Indonesia, yang terkenal dengan negara multikultural. Perbedaan
etnis, suku bangsa, adat, agama, ras, dan pelapisan sosial yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewarnai konflik-konflik yang
timbul. Dibutuhkan sebuah pendekatan salah satunya adalah pendekatan
antropologis untuk menjelaskan tentang konsensus konflik ini, karena
antropologi sendiri terfokus pada aspek manusia selaku sumber dari
konflik. Dengan pendekatan ini, diidentifikasi akar-akar dari konflik
sehingga dapat ditemukan cara terbaik dalam penyelesaian konflik
tersebut tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Konsensus dan konflik
adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua
konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup
lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia
sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat
mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan.
Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan
kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang
dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa
konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah
kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau
individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara
bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak,
sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan
tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik.
Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat
tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah
kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah
satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam
konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber
solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas
mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa
setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang
merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan
Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga
kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal
ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan
atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang
menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai
kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong
terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan
dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain
bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau
lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga
diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak
badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran
dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.
Konsensus dan konflik merupakan dua gejala yang tidak bisa dipisahkan
dan saling melekat. Kedua gejala ini harus diintegrasikan untuk
menganalisis masyarakat indonesia yang majemuk. Struktur masyarakat
indonesia ditandai dua ciri. Secara horisontal, adanya kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan ras, agama, suku, adat. Secara vertikal, adanya
perbedaan yang sangat tajam antara lapisan atas dan lapisan bawah.
Dalam perspektif antropologi, konflik merupakan gejala yang umum terjadi
di Indonesia, yang terkenal dengan negara multikultural. Perbedaan
etnis, suku bangsa, adat, agama, ras, dan pelapisan sosial yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewarnai konflik-konflik yang
timbul. Dibutuhkan sebuah pendekatan salah satunya adalah pendekatan
antropologis untuk menjelaskan tentang konsensus konflik ini, karena
antropologi sendiri terfokus pada aspek manusia selaku sumber dari
konflik. Dengan pendekatan ini, diidentifikasi akar-akar dari konflik
sehingga dapat ditemukan cara terbaik dalam penyelesaian konflik
tersebut tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Konsensus dan konflik
adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua
konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup
lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia
sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat
mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan.
Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan
kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang
dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa
konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah
kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau
individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara
bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak,
sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan
tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik.
Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat
tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah
kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah
satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam
konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber
solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas
mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa
setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang
merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan
Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga
kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal
ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan
atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang
menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai
kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong
terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan
dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain
bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau
lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga
diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak
badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran
dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.
Konsensus dan konflik merupakan dua gejala yang tidak bisa dipisahkan
dan saling melekat. Kedua gejala ini harus diintegrasikan untuk
menganalisis masyarakat indonesia yang majemuk. Struktur masyarakat
indonesia ditandai dua ciri. Secara horisontal, adanya kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan ras, agama, suku, adat. Secara vertikal, adanya
perbedaan yang sangat tajam antara lapisan atas dan lapisan bawah.
Dalam perspektif antropologi, konflik merupakan gejala yang umum terjadi
di Indonesia, yang terkenal dengan negara multikultural. Perbedaan
etnis, suku bangsa, adat, agama, ras, dan pelapisan sosial yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewarnai konflik-konflik yang
timbul. Dibutuhkan sebuah pendekatan salah satunya adalah pendekatan
antropologis untuk menjelaskan tentang konsensus konflik ini, karena
antropologi sendiri terfokus pada aspek manusia selaku sumber dari
konflik. Dengan pendekatan ini, diidentifikasi akar-akar dari konflik
sehingga dapat ditemukan cara terbaik dalam penyelesaian konflik
tersebut tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Konsensus dan konflik
adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua
konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup
lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia
sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat
mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan.
Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan
kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang
dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa
konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah
kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau
individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara
bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak,
sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan
tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik.
Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat
tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah
kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah
satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam
konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber
solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas
mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa
setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang
merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan
Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga
kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal
ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan
atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang
menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai
kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong
terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan
dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain
bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau
lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga
diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak
badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran
dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Konsensus dan konflik
adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua
konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup
lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia
sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat
mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan.
Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan
kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang
dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa
konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah
kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau
individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara
bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak,
sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan
tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik.
Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat
tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah
kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah
satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam
konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber
solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas
mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa
setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang
merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan
Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga
kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal
ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan
atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang
menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai
kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong
terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan
dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain
bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau
lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga
diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak
badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran
dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Konsensus dan konflik
adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua
konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup
lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia
sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat
mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan.
Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan
kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang
dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa
konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah
kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau
individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara
bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak,
sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan
tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik.
Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat
tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah
kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah
satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam
konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber
solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas
mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa
setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang
merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan
Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga
kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan.
Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal
ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan
atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang
menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai
kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong
terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan
warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan
akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan
dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain
bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau
lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga
diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak
badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran
dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9