Sabtu, 19 Desember 2015

artikel pendekatan konsesus



ARTIKEL
PENDEKATAN KONSESUS 






NAMA : Agnes asetiawan
KELAS : 1IA14
FAKULTAS : TEKNIK IDUSTRI
JURUSAN : TEKNIK INFORMATIKA







KATA  PENGANTAR

Latar Belakang
         Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada allah swt, karena atas  berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami boleh menyelesaikan sebuah artikel ini dengan tepat waktu. Berikut ini adalah artikel dengan judul “ Pendekatan konsesus / Struktur konsional “.yang menurut kami dapat memberikan manfaat besar bagi kita untuk di pelajari. Melalui kata pengantar ini tugas ini lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada penulisan yang kami buat kurang tepat atau menyinggung perasaan pembaca. Dengan ini kami mempersembahkan artikel ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah swt memberkahi artikel ini sehingga dapat memberikan manfaat. Aaaaminn.




Konsensus dan konflik adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan. 

Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak, sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik.

 Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan. 

Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut. 

Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik. 

Konsensus dan konflik merupakan dua gejala yang tidak bisa dipisahkan dan saling melekat. Kedua gejala ini harus diintegrasikan untuk menganalisis masyarakat indonesia yang majemuk. Struktur masyarakat indonesia ditandai dua ciri. Secara horisontal, adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan ras, agama, suku, adat. Secara vertikal, adanya perbedaan yang sangat tajam antara lapisan atas dan lapisan bawah. 

Dalam perspektif antropologi, konflik merupakan gejala yang umum terjadi di Indonesia, yang terkenal dengan negara multikultural. Perbedaan etnis, suku bangsa, adat, agama, ras, dan pelapisan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewarnai konflik-konflik yang timbul. Dibutuhkan sebuah pendekatan salah satunya adalah pendekatan antropologis untuk menjelaskan tentang konsensus konflik ini, karena antropologi sendiri terfokus pada aspek manusia selaku sumber dari konflik. Dengan pendekatan ini, diidentifikasi akar-akar dari konflik sehingga dapat ditemukan cara terbaik dalam penyelesaian konflik tersebut tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.


 

Konsensus dan konflik adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan. Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak, sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik. Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik. Konsensus dan konflik merupakan dua gejala yang tidak bisa dipisahkan dan saling melekat. Kedua gejala ini harus diintegrasikan untuk menganalisis masyarakat indonesia yang majemuk. Struktur masyarakat indonesia ditandai dua ciri. Secara horisontal, adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan ras, agama, suku, adat. Secara vertikal, adanya perbedaan yang sangat tajam antara lapisan atas dan lapisan bawah. Dalam perspektif antropologi, konflik merupakan gejala yang umum terjadi di Indonesia, yang terkenal dengan negara multikultural. Perbedaan etnis, suku bangsa, adat, agama, ras, dan pelapisan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewarnai konflik-konflik yang timbul. Dibutuhkan sebuah pendekatan salah satunya adalah pendekatan antropologis untuk menjelaskan tentang konsensus konflik ini, karena antropologi sendiri terfokus pada aspek manusia selaku sumber dari konflik. Dengan pendekatan ini, diidentifikasi akar-akar dari konflik sehingga dapat ditemukan cara terbaik dalam penyelesaian konflik tersebut tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Konsensus dan konflik adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan. Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak, sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik. Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik. Konsensus dan konflik merupakan dua gejala yang tidak bisa dipisahkan dan saling melekat. Kedua gejala ini harus diintegrasikan untuk menganalisis masyarakat indonesia yang majemuk. Struktur masyarakat indonesia ditandai dua ciri. Secara horisontal, adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan ras, agama, suku, adat. Secara vertikal, adanya perbedaan yang sangat tajam antara lapisan atas dan lapisan bawah. Dalam perspektif antropologi, konflik merupakan gejala yang umum terjadi di Indonesia, yang terkenal dengan negara multikultural. Perbedaan etnis, suku bangsa, adat, agama, ras, dan pelapisan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewarnai konflik-konflik yang timbul. Dibutuhkan sebuah pendekatan salah satunya adalah pendekatan antropologis untuk menjelaskan tentang konsensus konflik ini, karena antropologi sendiri terfokus pada aspek manusia selaku sumber dari konflik. Dengan pendekatan ini, diidentifikasi akar-akar dari konflik sehingga dapat ditemukan cara terbaik dalam penyelesaian konflik tersebut tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9

Konsensus dan konflik adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan. Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak, sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik. Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik. Konsensus dan konflik merupakan dua gejala yang tidak bisa dipisahkan dan saling melekat. Kedua gejala ini harus diintegrasikan untuk menganalisis masyarakat indonesia yang majemuk. Struktur masyarakat indonesia ditandai dua ciri. Secara horisontal, adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan ras, agama, suku, adat. Secara vertikal, adanya perbedaan yang sangat tajam antara lapisan atas dan lapisan bawah. Dalam perspektif antropologi, konflik merupakan gejala yang umum terjadi di Indonesia, yang terkenal dengan negara multikultural. Perbedaan etnis, suku bangsa, adat, agama, ras, dan pelapisan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewarnai konflik-konflik yang timbul. Dibutuhkan sebuah pendekatan salah satunya adalah pendekatan antropologis untuk menjelaskan tentang konsensus konflik ini, karena antropologi sendiri terfokus pada aspek manusia selaku sumber dari konflik. Dengan pendekatan ini, diidentifikasi akar-akar dari konflik sehingga dapat ditemukan cara terbaik dalam penyelesaian konflik tersebut tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9
Konsensus dan konflik adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan. Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak, sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik. Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik. Konsensus dan konflik merupakan dua gejala yang tidak bisa dipisahkan dan saling melekat. Kedua gejala ini harus diintegrasikan untuk menganalisis masyarakat indonesia yang majemuk. Struktur masyarakat indonesia ditandai dua ciri. Secara horisontal, adanya kesatuan sosial berdasarkan perbedaan ras, agama, suku, adat. Secara vertikal, adanya perbedaan yang sangat tajam antara lapisan atas dan lapisan bawah. Dalam perspektif antropologi, konflik merupakan gejala yang umum terjadi di Indonesia, yang terkenal dengan negara multikultural. Perbedaan etnis, suku bangsa, adat, agama, ras, dan pelapisan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia mewarnai konflik-konflik yang timbul. Dibutuhkan sebuah pendekatan salah satunya adalah pendekatan antropologis untuk menjelaskan tentang konsensus konflik ini, karena antropologi sendiri terfokus pada aspek manusia selaku sumber dari konflik. Dengan pendekatan ini, diidentifikasi akar-akar dari konflik sehingga dapat ditemukan cara terbaik dalam penyelesaian konflik tersebut tanpa menimbulkan konflik yang lebih besar.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9



Konsensus dan konflik adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan. Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak, sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik. Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9



Konsensus dan konflik adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan. Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak, sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik. Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9


Konsensus dan konflik adalah tema teori yang penting dalam antropologi dan sosiologi. Kedua konsep yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan ini mencakup lapangan kajian mikro maupun makro. Isu konsensus konflik melanda dunia sosiologi dan antropologi karena semakin banyak ahli teori berminat mengkaji perubahan masyarakat dan kebudayaan. Konsensus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dsb) yang dicapai melalui kebulatan suara. Pengertian lain mengatakan bahwa konsensus adalah sebuah frasa atau kalimat untuk menghasilkan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama baik antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan secara bersama untuk mendapatkan keputusan. Konsensus bersifat abstrak, sehingga tidak mempunyai keterlibatan terhadap politik praktis akan tetapi dalam prakteknya konsensus dapat memengaruhi politik. Durkheim membangun sebuah kesimpulan bahwa eksistensi masyarakat tergantung pada konsensus moral. Ide bahwa konsensus moral adalah kondisi yang diperlukan bagi mewujudkan keteraturan sosial adalah salah satu postulat teori sosial fungsional. Konsensus terkandung dalam konsepnya yang terkenal yaitu kesadaran kolektif yang artinya sumber solidaritas yang mendorong mereka untuk mau bekerja sama. Solidaritas mekanik dari kesadaran kolektif ditentukan oleh rumusan Durkheim, bahwa setiap orang “mengetahui bahwa kita sama dengan orang-orang yang merepresentasi kita” (Durkheim, 1951:79). Representasi yang dipikirkan Durkheim adalah bukan hanya menyamakan fisik, melainkan juga kesamaan-kesamaan pikiran dan perasaan. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing-masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri-sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. Jadi, konflik adalah suatu bentuk perbuatan atau interaksi yang menciptakan, menimbulkan atau membentuk sebuah kelompok yang mempunyai kepentingan yang sama dimana pembentukan ini bertujuan untuk mendorong terpenuhinya kepentingan kelompok tersebut. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977) konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari bangkitnya ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan dalam kedua pihak atau lebih pihak secara berterusan. Dengan kata lain bahwa konflik adalah gejala umum yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat yang diakibatkan oleh adanya perbedaan dari dua pihak atau lebih. Konflik tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan. Perbedaan pola-pola pemikiran dan pendirian adalah salah satu penyebab dari timbulnya konflik.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/honey95t/konsensus-dan-konflik_54fd21b3a33311411d50f8b9